Senin, 22 November 2010

Sejarah Musik Disco



Share
Disko dan musik dansa identik dengan budaya gay? Itu klaim mereka. Kaum homo di Amerika sana menganggap tidak ada bentuk seni pop yang lebih pas identik dengan kultur gay dibandingkan dengan disko dan musik dansa. Di negara George W. Bush sana, di bar atau diskotek yang ingar-bingar dengan musik dansa, para gay secara terbuka mengekspresikan identitas seksualnya. Meminjam kata-kata Simon Frith dalam buku Sound Effects: Youth, Leisure, and the Politics of Rock ‘n’ Roll, disko itu musik dengan bar tunggal, mobilitas seksual, pengelanaan heteroseksual, masa bebas akhir pekan, dan fantasi-fantasi yang fana. Apa sih sebenarnya jenis musik ini?

Musik dansa adalah gubahan atau permainan musik khususnya untuk tarian pergaulan (social dancing). Ia muncul sejak tiga-empat abad lalu–jauh sebelum lahirnya disko. Pada prinsipnya, musik dansa mencakup berbagai jenis musik, dari waltz sampai rock and roll dan musik country atau tango. Sampai akhir 1970-an, bagi pelanggan klub malam, istilah musik dansa lebih khas merujuk pada musik elektronik seperti disko. Nah, disko sebenarnya punya akar kuat pada swing, samba, cha-cha, mambo, merengue, foxtrot, dan tango, juga dalam beats funk dan rhythm serta blues dari akhir 1960-an sampai awal 1970-an. Secara umum, perbedaan antara disko atau sejumlah lagu dansa dan rock atau lagu pop umumnya: di dalam musik dansa ketukan bas “empat ke lantai”, sekurang-kurangnya sekali dalam satu ketukan; sementara dalam musik rock ketukan bas pada satu dan tiga. Lantas bagaimana sejarah kemunculannya? Jenis musik ini punya sejarah sosial panjang. Awalnya adalah New York pada 1970-an. Amerika sedang sumpek oleh kecamuk Perang Vietnam yang tak segera usai, gonjang-ganjing politik dalam negeri, dan ekonomi yang tak lagi cerah. Anak-anak muda memberontak, membuat suasana tidak nyaman. Di saat itulah disko muncul untuk pertama kalinya, ketika orang butuh pelarian untuk melepas kesumpekan, mencari kegembiraan. Di klub-klub bawah tanah di Manhattan, ketika hari gelap dan lampu-lampu kota dinyalakan, anak-anak muda mencari surga dalam iringan musik disko. Kaum yang terpinggirkan dalam budaya mainstream, Negro dan gay, pun mendapatkan saluran kegembiraan di sana.

Sukses instrumental Love’s Theme oleh Love Unlimited Orchestra pada 1974 (dipimpin oleh pemusik rhythm and blues Barry White) dan lagu baru Do the Hustle (1975) oleh Van McCoy menandakan kehadiran sebuah suara baru, lembut, dan berbusa. Dan salah satu karakteristik dasar dari disko adalah, bagaimanapun, lagu itu sendiri adalah tentang dansa. Kemunculan John Travolta dalam film Saturday Night Fever (1977) membuat demam disko menyebar ke seantero planet bumi. Musik film ini sepenuhnya digarap oleh Bee Gees, dengan lagu andalan Staying Alive, yang bercerita tentang kerasnya kehidupan kala itu dan bagaimana orang mencari pelarian lewat dansa.

Setelah melewati fase awal itu, disko memasuki fase yang dinamai post-classic disco pada awal 1980-an, yang antara lain ditandai dengan munculnya lagu Sharon Redd berjudul In the Name of Love (1982). Setelah periode itu, muncul aliran musik pop new wave dan punk rock. Seperti tak peduli dengan liriknya yang ngeseks, anak-anak muda berdansa dengan beat panas menyentak. Ada lagu Gucci, You’re Through (Pretty Girls) yang bercerita tentang persetubuhan, tentang cewek yang melecehkan “pedang” cowok yang begitu mungil. Ada lagu We Want Some Pussy (2 Live Crew) yang bikin pedansa histeris. Ada pula I Want Your Sex (George Michael) yang antara lain berlirik “Aku menginginkan seks bersamamu…”.

Pada 1990-an, disko muncul kembali sebagai genre baru dengan nama dance music. Kala itu sudah mulai adanya pencangkokan seperti yang dilakukan oleh Boney M. Pada pertengahan 1990-an, aliran dance music baru ini marak lagi, seiring dengan pesatnya teknologi perekaman. Pemusik seperti Moby dan Fatboy Slim menampilkan cangkokan dengan aliran electronic music atau industry. Ini adalah masa elektrik, ketika mereka mengambil lagu orang lain, lalu meramunya (mix). Fatboy Slim, misalnya, meramu Bird of Prey karya Jim Morison dari The Doors dan menggubahnya jadi lagu dansa yang bikin orang bergoyang.

Kemudian dikenal musik yang lebih cepat seperti techno, house, drum ‘n’ beat, progressive, dan jungle. Musik-musik seperti inilah yang belakangan mengisi lantai dansa di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Meski sudah digemari banyak orang, dance music masih tetap menjadi simbol dari komunitas bawah tanah. Subkultur yang tidak ingin bergerak di arus utama.

1 komentar:

Maderose mengatakan...

dokter kulit bandung says

makasih atas infonya, berguna sekali


http://dokterkulitbandung.com/

Posting Komentar