Rabu, 09 November 2011

Opera Batak



Share
Opera Batak yang sempat merajai dunia hiburan di Sumatera Utara akhirnya mati suri setelah dekade 1980-an. Sejumlah upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali kesenian yang lahir sekitar tahun 1920-an ini. Di antaranya dengan mendirikan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt).
Jika di Jawa Timur ada ludruk, di Jawa Tengah ada seni ketoprak, maka di Sumatera Utara ada Opera Batak. Bagi suku Batak, opera dikenal sebagai hiburan kesenian tradisional yang di masanya sangat populer dan banyak diminati masyarakat. Layaknya opera di Eropa yang memadukan seni tari, seni musik, seni peran dan seni suara, Opera Batak ciptaan Tilhang Oberlin Gultom yang lahir sekitar tahun 1925 ini juga tidak lepas dari unsur-unsur seni tersebut dalam setiap pementasannya.
Pada masa kejayaannya, pementasan Opera Batak sempat merajai dunia hiburan di Sumatera Utara. Pementasan dilakukan dengan berkeliling di sejumlah daerah dan dilakukan di tempat terbuka. Biasanya dilakukan pada malam hari. Lama tur pementasan di suatu desa juga bervariasi tergantung kondisi, bisa berminggu-minggu namun tidak sampai satu bulan.
Pementasan dilakukan semenarik mungkin di atas panggung menyerupai rumah adat Batak dengan hiasan gorga, ukiran khas batak. Sedangkan untuk menghubungkan adegan ketika akan berganti dari selingan lagu, tari maupun lawak, pentas dilengkapi dengan tirai penutup. Pementasan Opera Batak yang dilakukan pada malam hari masih mengandalkan lampu petromak atau lampu gas yang kadang diturunkan untuk menambah suplai angin agar pencahayaan tetap terjamin. Berbeda dengan sekarang dimana panggung teater disorot dengan warna-warni cahaya lampu.
Seperti lazimnya pertunjukan profesional, penonton harus membeli tiket. Karena besarnya antusias masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan opera, tidak sedikit di antara mereka yang rela menukarkan beras atau hasil ladangnya demi menyaksikan pementasan. Tiket baru didapatkan setelah terjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak.
Tidak seperti pementasaan saat ini, layaknya gedung teater Taman Ismail Marzuki yang nyaman, penonton Opera Batak sering bubar karena cuaca yang tidak bersahabat. Di sisi lain, tidak jarang pertunjukan baru selesai menjelang dini hari jika lakon yang dipertunjukkan sangat menarik. Tema yang diangkat sebagai ceritapun beragam mulai dari kisah legenda, mitos, atau cerita kepahlawanan. Cerita-cerita Opera Batak juga sering mengangkat masalah-masalah kehidupan sehari-hari yang sedang hangat dibicarakan. Isinya pun tidak hanya menghibur namun juga menekankan penyampaian pesan moral yang mendidik kepada para penonton.
Namun dalam perkembangannya, Opera Batak mulai tenggelam setelah sang maestro Tilhang Oberlin Gultom meninggal pada 1970. Seiring dengan munculnya berbagai acara televisi pada tahun 1980-an, arah perjalanan Opera Batak semakin tidak menentu. Hiburan kesenian rakyat yang pernah masuk Istana pada masa Presiden Soekarno ini semakin tersisihkan dari perhatian masyarakat.

Puluhan kelompok opera, di antaranya Serindo, Serada, Rompemas, Seribudi, Roos, Ropeda, Serbungas, Roserda, Sermindo yang dibentuk oleh murid-murid Tilhang, perlahan-lahan berguguran. Sementara para pemainnya yang kebanyakan diambil dari pedesaan, tidak bisa lagi bertahan sebagai seniman opera yang sepenuhnya menyandarkan hidup dari hasil manggung. Sebagian dari mereka kemudian memilih kembali ke habitatnya semula. Sebagian lagi merantau ke kota dan mencari pekerjaan.
Sebut saja Sang Ratu Opera Batak Zulkaidah Harahap, didikan langsung Tilhang Oberlin Gultom yang dikenal lihai memainkan suling dan bersuara merdu. Zulkaidah termasuk orang yang masih sempat merasakan kejayaan sebagai seniman opera di era 1970-an. Dari hasil pertunjukan, ia bisa membeli sebidang tanah dan memiliki sejumlah perhiasan.
Peralihan minat masyarakat dari hiburan tradisional ke televisi membuat keberadaan Opera Batak kian tidak menentu. Zulkaidah yang mengaku mendapatkan wasiat dari Tilhang sebelum meninggal agar ia melanjutkan opera yang dibentuknya, terpaksa tidak bisa melakukannya. Zulkaidah banting setir berjualan kacang di atas kapal ferry di Danau Toba dan berjualan tuak, minuman keras khas Batak. Meski demikian, jiwa senimannya belum luntur, sambil berjualan ia juga masih meniup seruling dan bernyanyi.
Begitu juga dengan Abdul Wahab Kasim Samosir yang juga murid Tilhang Oberlin Gultom. Ia mengungkapkan kegelisahannya atas perkembangan kesenian Batak dewasa ini yang semakin tergerus. Menurutnya, semua orang Batak sudah menyeleweng dari budayanya. Iringan musik band sudah lebih dominan ketimbang gondang saat upacara adat pernikahan terutama ketika menyampirkan ulos kepada pengantin dan kerabatnya. “Pikiranku sudah buntu mengembangkan kesenian Batak sebab semua orang Batak sudah menyeleweng dari budayanya,” katanya dalam suatu kesempatan wawancara dengan Wartawan Kompas, Salomo Simanungkalit.
Ia mencontohkan, orang Batak bersedia membayar band di atas Rp 2 juta, tapi untuk gondang rela kalau di bawah Rp 1 juta,” ujar Kasim yang lahir 17 Agustus 1928 ini. Hatinya pun makin tersayat saat orang yang menawar jauh dari apa yang diharapkan berkata, “Sudah cukup Rp 700.000 untuk gondang”. Padahal pemain gondang yang berjumlah delapan orang itu bekerja seharian hingga keringatan.
Selain itu, menurut Ketua Koordinator Pusat Latihan Opera Batak, Thomson Hutasoit, semakin dilupakan dan terpinggirkannya Opera Batak juga dilihat sebagai ketidakberdayaan kesenian rakyat ini bersaing dengan media-media yang lebih modern. Oleh sebab itu, sejak tahun 2002, program revitalisasi Opera Batak dicanangkan untuk menghidupkan kembali Opera Batak dan memperkenalkannya hingga mancanegara. Salah satu upaya yang sedang dilakukan adalah dengan membangun gedung kebudayaan.
Sebuah kelompok Opera Batak bernama Grup Opera Silindung (GOS) pun dibentuk. Pemuda-pemudi yang bergabung dalam grup yang bermarkas di Tarutung ini diajari tentang musik khas Opera Batak dan seni peran. Kegiatan belajar langsung dipandu oleh Thomson Hutasoit dan para pakar di bidangnya. GOS sudah beberapa kali tampil di beberapa daerah seperti Tarutung, Sipaholon, Laguboti, Pematang Siantar, dan Jakarta.
Si JonahaUpaya untuk menyelamatkan Opera Batak terus dilanjutkan. Pada tahun 2005, sastrawan Sitor Situmorang yang bermukim di Belanda mengajak Thomson mendirikan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt). Selain melatih GOS, para pemain lama yang telah menyebar diajak kembali. Alhasil, kembalinya para pemain lama ini membuat PLOt makin hidup dan kebanjiran order. Bahkan Opera Batak dijadikan sarana untuk menarik massa oleh calon kepala daerah dalam pilkada. Hingga tahun 2008, usaha Thomson terus berlanjut dengan mengadakan pelatihan di 10 kabupaten di Sumatera Utara.
Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) juga mulai mengemas Opera Batak ke dalam empat bahasa pada satu panggung yakni bahasa Karo, Simalungun, Toba dan Indonesia. Biasanya Opera Batak identik dengan bahasa Batak Toba. Dengan empat bahasa, diharapkan para pemain datang dari latar belakang yang berbeda-beda sehingga semangat kebersamaan semakin erat.
Indahnya kebersamaan itu diwujudkan dalam Opera Batak yang dipentaskan pada 11-12 Maret 2011 di Taman Budaya Sumatera Utara, Medan. Opera Batak yang mementaskan naskah adaptasi cerita rakyat berjudul Si Jonaha (Si Jenaka) ini juga menampilkan keragaman tari-tarian dari 5 etnis Batak. Selain maestro opera Batak Alister Nainggolan dan Zulkaidah boru Harahap, para pemain opera adalah peserta program pelatihan revitalisasi opera Batak bantuan Pemerintah Provinsi Sumut tahun 2008. HS (Berita Indonesia 83)
***
Tilhang Oberlin Gultom, Pendiri Opera Batak
Tilhang Oberlin Gultom, seniman dan pendiri Opera Batak yang dinamai Opera Tilhang (1920-1973). Selama karirnya, pria kelahiran Desa Sitamiang, Pulau Samosir ini telah mencipta 360 lagu, 12 tumba dan 24 judul drama. Setelah sang pendiri meninggal (1973), Opera Tilhang kemudian dilanjutkan para penerusnya dengan Opera Serindo (Seni Ragam Indonesia) sampai 1985. Setelah itu, opera Batak tidak pernah muncul lagi.
Bagaimana proses kehadiran opera tradisi Batak yang lebih mirip teater keliling ini, tidak ada catatan pasti. Namun, nama Tilhang Oberlin Gultom selalu dikaitkan sebagai tokoh seniman yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1920-an. Kala itu, ia menggelar opera ini di pedalaman Tapanuli Utara. Sebutan Opera Batak dipopulerkan oleh Diego van Biggelar, misionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir pada 1930-an.
Opera Tilhang mencapai masa keemasannya dari tahun 1960-1973. Setelah sang pendiri sekaligus pemimpin meninggal pada tahun 1973, para penerusnya, di antaranya Abdul Wahab Kasim Samosir (Pimpinan Opera Serindo) dan Zulkaidah boru Harahap, ratu opera Tilhang kala itu, bersama suaminya Pontas Gultom, melanjutkan usaha pertunjukan opera Batak bernama Seni Ragam Indonesia alias Serindo tersebut atas persetujuan seluruh keluarga Tilhang Gultom.
Kala itu masih ada sekitar 70 anggota. Opera Serindo yang merupakan penjelmaan Opera Tilhang menggelar pertunjukan keliling dari desa ke desa. Namun hanya mampu bertahan sampai tahun 1985 karena para penontonnya sudah mempunyai banyak pilihan hiburan, mulai dari pertunjukan musik dan artis populer, juga terutama dengan kehadiran televisi sampai pelosok desa. Akhirnya, tahun 1985, grup opera Batak Serindo yang kala itu masih punya 45 anggota, bubar. tokohindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar