Opera Batak yang sempat merajai dunia hiburan di Sumatera Utara akhirnya mati suri setelah dekade 1980-an. Sejumlah upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali kesenian yang lahir sekitar tahun 1920-an ini. Di antaranya dengan mendirikan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt).
Jika di Jawa Timur ada ludruk, di Jawa Tengah ada seni ketoprak, maka di Sumatera Utara ada Opera Batak. Bagi suku Batak, opera dikenal sebagai hiburan kesenian tradisional yang di masanya sangat populer dan banyak diminati masyarakat. Layaknya opera di Eropa yang memadukan seni tari, seni musik, seni peran dan seni suara, Opera Batak ciptaan Tilhang Oberlin Gultom yang lahir sekitar tahun 1925 ini juga tidak lepas dari unsur-unsur seni tersebut dalam setiap pementasannya.
Pada masa kejayaannya, pementasan Opera Batak sempat merajai dunia hiburan di Sumatera Utara. Pementasan dilakukan dengan berkeliling di sejumlah daerah dan dilakukan di tempat terbuka. Biasanya dilakukan pada malam hari. Lama tur pementasan di suatu desa juga bervariasi tergantung kondisi, bisa berminggu-minggu namun tidak sampai satu bulan.
Pementasan dilakukan semenarik mungkin di atas panggung menyerupai rumah adat Batak dengan hiasan gorga, ukiran khas batak. Sedangkan untuk menghubungkan adegan ketika akan berganti dari selingan lagu, tari maupun lawak, pentas dilengkapi dengan tirai penutup. Pementasan Opera Batak yang dilakukan pada malam hari masih mengandalkan lampu petromak atau lampu gas yang kadang diturunkan untuk menambah suplai angin agar pencahayaan tetap terjamin. Berbeda dengan sekarang dimana panggung teater disorot dengan warna-warni cahaya lampu.
Seperti lazimnya pertunjukan profesional, penonton harus membeli tiket. Karena besarnya antusias masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan opera, tidak sedikit di antara mereka yang rela menukarkan beras atau hasil ladangnya demi menyaksikan pementasan. Tiket baru didapatkan setelah terjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak.
Tidak seperti pementasaan saat ini, layaknya gedung teater Taman Ismail Marzuki yang nyaman, penonton Opera Batak sering bubar karena cuaca yang tidak bersahabat. Di sisi lain, tidak jarang pertunjukan baru selesai menjelang dini hari jika lakon yang dipertunjukkan sangat menarik. Tema yang diangkat sebagai ceritapun beragam mulai dari kisah legenda, mitos, atau cerita kepahlawanan. Cerita-cerita Opera Batak juga sering mengangkat masalah-masalah kehidupan sehari-hari yang sedang hangat dibicarakan. Isinya pun tidak hanya menghibur namun juga menekankan penyampaian pesan moral yang mendidik kepada para penonton.
Namun dalam perkembangannya, Opera Batak mulai tenggelam setelah sang maestro Tilhang Oberlin Gultom meninggal pada 1970. Seiring dengan munculnya berbagai acara televisi pada tahun 1980-an, arah perjalanan Opera Batak semakin tidak menentu. Hiburan kesenian rakyat yang pernah masuk Istana pada masa Presiden Soekarno ini semakin tersisihkan dari perhatian masyarakat.