Sabtu, 09 Oktober 2010

Seni Ukir Asmat



Share
Seni ukir Asmat telah dikenal luas sejak terjadi kontak dengan budaya Barat pada tahun 1700-an. Saat diadakan Festival Budaya Asmat yang berlangsung tiap bulan Oktober, banyak wisatawan dari mancanegara berkunjung ke Asmat. Mereka sengaja datang dengan kapal dari negaranya, untuk mempermudah membawa pulang ukiran Asmat yang mereka borong.

Bagi orang Asmat, mengukir merupakan bagian dari ritual religiositas mereka. Ukiran Asmat dipercaya sebagai mediator yang menghubungkan antara kehidupan masyarakat dengan leluhur mereka. Melalui ukiran inilah orang Asmat berkomunikasi dengan arwah keluarganya yang sudah meninggal. Setiap ukiran yang mereka buat mewakili seseorang yang telah meninggal dunia.
Ukiran tradisional Asmat yang paling spektakuler adalah tiang atau tugu leluhur yang disebut Bisj. Ukiran ini umumnya tersusun dari lebih dari dua figur. Setiap figur diukir di atas figur yang lain. Masing-masing figur menggambarkan keluarga yang telah meninggal. Dahulu, Bisj dibuat dalam upacara tradisional yang dimeriahkan dengan pesta pemenggalan kepala dan kenibalisme (head hunting) agar arwah leluhur tenang.

Setelah wilayah Papua menjadi bagian RI tahun 1963, pemerintah melarang pembuatan Bisj untuk mencegah upacara head-hunting dan kanibalisme. Lambat laun tradisi Bisj mulai memudar. Kini orang Asmat membuat patung untuk dijual pada wisatawan. Penjualan seni ukir Asmat memberikan kontribusi ekonomi bagi warga Asmat.

Karena mengukir memiliki peran penting dalam keseharian hidup masyarakat Amat, di setiap kampung dapat dijumpai warga Asmat yang melakukan kegiatan ini secara berkelompok. Biasanya mereka melakukan kegiatan ini di Jeu, rumah tradisional Asmat. Kesibukan mengukir di Jeu ini biasanya kian terasa menjelang Festival Budaya Asmat pada bulan Oktober.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar